Sumber air Bama yang terletak 23 km arah barat Kota
Larantuka ibu kota Kabupaten Flores Timur yang memberikan kehidupan bagi
penduduk kota dan daerah sekitarnya mempunyai cerita yang menarik.
Pada zaman dahulu di desa Onge
kampung lama desa Lewokluo sekarang tinggallah 2 orang bersaudara, yang pria
bernama Bolok Jawa dan wanita bernama Sabu Peni. Mereka berasal dari marga
Leyn. Orang tua mereka telah meninggal dunia dikala keduanya menanjak dewasa.
Keduanya hidup rukun dan damai. Bolok Jawa berladang dan menyadap lontar, Sabu
Peni menenun dan mengurus rumah tangga.
Air minum merupakan masalah utama
bagi warga desa Onge, maupun desa-desa disekitarnya. Hal ini sangat dirasakan
apabila musim kemarau tiba. Penduduk mengeluh kekurangan air tidak jarang
manusia meninggal karena ke hausan. Apabila musim kemarau tiba, kaum wanita desa
beramai-ramai memasuki hutan menyadap embun yang tergenang di daun pepohonan,
di sekitar desanya. Pekerjaan yang berat dan membosankan ini selaju dikerjakan
dengan penuh ketabahan oleh mereka selama enam bulan lamanya. Menjelang subuh
dipagi buta mereka memasuki hutan membawa perlengkapan menyadap embun untuk
dapat memasak makanan dan cukup minum selama sehari. Sabu Peni mengerjakan
pekerjaan rutin ini dengan tekun, namun dalam hati kecilnya menyimpan harapan
besar untuk dapat menemukan sebuah sumber air bagi desanya serta kaum
keluarganya.
Pada
suatu hari yang cerah, Sabu Peni masuk hutan menyadap embun. Seekor anjing
piaraan Bolok Jawa mengikutinya. Sabu Peni sibuk mengerjakan pekerjaannya, sang
anjing menghilang. Namun dikala dia hendak kembali sang anjing muncul dan
menemaninya kembali ke rumah. Sabu Peni sangat tertegun melihat moncong anjing
berlumpur. Sabu memanggil sang anjing dan mengamati nya dengan teliti, apa
penglihatannya itu benar. Setelah diamatinya secara seksama diketahuinya ada
lumpur yang melekat di jari jemari sang anjing. Hatinya sangat legal. Sabu
Peni bergegas kembali ke rumah bersama sang anjing. Malam harinya dia membuat
rencana untuk membawa sang anjing keesokan harinya. Pagi hari kedua, Sabu Peni
bergegas bangun. Dipanggilnya anjing itu, keduanya memasuki hutan. Sang anjing
menghilang lagi dan tatkala hendak kembali sang anjing datang. Kali ini lumpur
semakin banyak melekat di tubuh sang anjing, maka Sabu Peni telah yakin bahwa
sang anjing telah menemukan sebuah sumber air. Pada malam harinya, dia
menganyam sebuah bakul sedang, diisinya abu dapur sampai penuh, pada bagian
bawah diberinya lubang tempat abu dapur tercecer, disimpannya bakul itu dan
diapun bergegas tidur. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak. Dia telah
membayangkan bahwa betapa bahagianya warga desanya seandainya rencananya ini
akan berhasil. Terlebih kaum wanitanya dapat mengakhiri pekerjaan rutin dan
berat itu.
Pagi hari ketiga, Sabu Peni
bangun sebagaimana biasanya dia memanggil anjingnya dibawanya perlengkapannya
serta bakul yang berisi abu dapur. Setibanya di tempat dimana dia menyadap
embun, dia memanggil anjing, diikatnya bakul di leher anjing dan iapun bekerja
sebagaimana biasanya. Sang anjing menghilang dan tatkala dia hendak kembali
anjing datang. Segera dia memanggil anjing itu dan iapun memeriksa bakul
tersebut, diketahuinya bakul tersebut sudah kosong. Sabu Peni bergegas
berjalan menyusuri ceceran abu dapur ditemani anjing piaraannya. Perjalanan
amat jauh dan melelahkan, melewati hutan lebat mendaki bukit menuruni lembah
tidak memikirkan bahaya yang dapat menimpa akibat pagutan ular yang berbisa.
Dia terus berjalan tak kenal lelah. Anjing berjalan mendahuluinya seringkali
menggonggong binatang hutan yang dilihatnya. Dan tatkala menjelang tengah hari
pukul 12.00 siang, tibalah Sabu Peni di mata air Bama sekarang bernama
Letobehe. Anjingnya berlari sambil berhenti dan mencakar kaki pada dedaunan
lusuh seakan memberikan petunjuk kepada Sabu Peni untuk datang menuju ke tempat
itu. Didapatinya lumpur basah, lalu dibersihkannya tempat itu dan sekitarnya
dengan tangannya dikoreknya lumpur, air semakin jernih memenuhi lubang kecil
itu. Hatinya sangat lega. Sabu menggali lubang semakin besar, air segera
memenuhi lubang tersebut lalu ia menimba dan meneguknya sampai puas. Diapun
menimba mengisi tempayannya sampai penuh lalu iapun mandi sepuas-puasnya.
Pakaiannya basah kuyup dicucinya rambutnya yang hitam dan dibiarkannya terurai,
kemudian menjunjung tempayannya dan kembali ke kampung ditemani sang anjing.
Bolok Jawa yang bingung dan cemas menunggu kedatangan Sabu Peni sangat senang
menyambut kedatangan adiknya menjunjung air, ternyata Sabu Peni telah berhasil
menemukan sumber air Letobehe. Berita segera tersebar, Bolok Jawa mengumpulkan
beberapa rekan prianya dan pergi menuju Letobehe. Mereka menemukan sumber air
seperti yang diceritakan Sabu Peni. Penduduk desa Onge bergembira ria, sejak
saat itu Sabu Peni disanjung-sanjung dan disayangi segenap warga desa.
Setelah sebulan lamanya pada suatu malam Sabu Peni
bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu dengan seorang pria tanpan dan rupawan.
Sang pemuda menceritakan padanya bahwa dialah pemilik sumber air Letobehe.
Sang pemuda telah jatuh cinta kepadanya sejak pertemuan pertamanya di Letobehe.
Sang Dewa air (nitung = lamaholot) itulah yang memberikan air itu karena
cintanya kepada gadis Sabu Peni. Dan dia berjanji apabila Sabu Peni menerima
cintanya, dan menikah dengannya dia akan menjadikan sumber air itu menjadi
deras alirannya kelaut dan tidak pernah berkurang airnya sepanjang masa.
Pagi harinya Sabu Peni menceritakan mimpinya kepada Bolok Jawa, namun
anehnya Bolok Jawapun bermimpi sama seperti mimpi Sabu Peni. Keduanya berembuk
bersama. Sabu Peni ditanyai oleh Bolok Jawa akan kesediaannya, dan ternyata
dengan senang hati Sabu Peni mengiakannya.
Sabu Peni mengatakan kepada kakaknya bahwa dia telah berniat untuk
dikorbankan demi memperoleh air minum sejak lama tatkala melihat anak anak dan
orang tua-orang tua yang mati kehausan dimasa yang telah lalu.
Bolok Jawapun merelakannya karena mereka yakin bahwa seorang anak manusia
akan segera meninggalkan dunia fana apabila dewa (nitung) telah jatuh cinta
kepadanya. Namun peristiwa ini amat langkah apakah mungkin akan terjadi ?
Bolok kebingungan memikirkannya.
Malam hari tiba impian selalu datang, Sabu Peni selalu bertemu dengan
sang dewa air, dia menunjukkan kehidupannya dikemudian hari setelah menikah
dengannya. Kemewahan hidup di alam sana di suatu dunia baru yang penuh
kebahagiaan mendorong Sabu Peni untuk mengorbankan dirinya untuk segera menemui
dunianya yang baru.
Bolok Jawa merasa sangat tersiksa mengenang hari-hari hidupnya dimasa
depan tanpa keponakan yang lahir dari rahim saudara sekandungnya. Namun Sabu
Peni menghiburnya dengan berkata bahwa Bolok harus segera menikah, anak-anak
perempuan dan laki-laki akan lahir hidup sehat dan sejahtera berkat sumber air
yang akan diperoleh lewat pengorbanan dirinya. Bolok akan dikaruniakan panjang
umur dan bahagia di hari tuanya bersama isterinya. Sabu Peni memilih calon
tunangan kakaknya seorang gadis rajin pandai menenun anak paman saudara
laki-laki ibunda mereka tercinta. Akhirnya Bolok Jawa pasrah.
Sabu Peni menyuruh Bolok Jawa mendirikan balai-balai di sumber air
Le-tobehe. Bolok Jawa mengikuti petunjuk adiknya dan berbuat seperti apa yang
disampaikan Sabu Peni. Sabu menyuruhnya untuk mengundang seluruh warga desa dan
kaum keluarganya, Sabu Peni mengenakan pakaian pengantinnya sebagaimana
biasanya, dan dihantarkan ke sumber air, lalu didudukannya di balai balai yang
didirikan Bolok Jawa. Semua penyampaian Sabu Peni dituruti Bolok Jawa.
Pada hari yang telah ditetapkan tiba semua keluarga berkumpul. Pesta
sangat meriah pada malam harinya, keesokan paginya Sabu Peni berdandan dan
rombonganpun bergerak dari Onge menuju Letobehe. Setibanya mereka disitu
semuanya beristirahat. Kemudian satu persatu mereka memeluk dan menciuminya
untuk terakhir-kalinya. Kaum wanita menangis meratapinya namun Sabu Peni tabah
dan tidak meneteskan air mata Yang terakhir giliran Bolok Jawa menciumnya,
keduanya berpelukan cukup lama. Semua yang melihat turut menangis, melihat
perpisahan kedua anak yatim piatu yang begitu mengharukan hati. Sabu Peni
berbisik, ke telinga Bolok Jawa : "Apabila air telah naik menutupi
wajahku, sanggulku akan terlepas. Rambutku akan bertebaran di permukaan air,
maka akan terdengar letusan dasyat. Sekalian pengiring akan lari meninggalkan
tempat ini, tetapi engkau janganlah takut, berdirilah di tepian kali ini dan
apa saja yang kau lihat dibawa air kearahmu, pungutlah dan bawalah pulang ke
rumahmu". Keduanya berhenti menangis. Jam telah menunjukan pukul 12.00
siang hari. Sabu Peni meluruskan kakinya keselatan, dan dengan tenang dinantikan
saat-saat akhir hidupnya. Air mulai meluap naik, perlahan-lahan akhirnya
menutupi wajahnya. Sanggulnya terlepas dan rambutnya bertebaran di atas
permukaan air, maka terjadilah letusan yang sangat dasyat. Semua pengiring lari
ketakutan, tinggalah Bolok Jawa sendirian di tepian sambil menanti apa yang
disampaikan adiknya. Tak lama kemudian air menghanyutkan sebatang kayu kering,
seutas tali hutan dan beberapa daun pohon kering kearahnya. Bolok memungutnya
dan membawanya kembai ke rumahnya, sambil menangis. Setibanya di rumah diletakkannya
di pondok kecil tempat menyadap lontar, namun keesokan paginya benda tak
berharga itu telah berubah wujud menjadi sebatang gading besar dan panjang,
seutas rantai mas, dan kepingan uang perak. Bolok Jawa mengambil benda berharga
ini disimpannya di rumahnya. Hal itu segera tersiar ke segenap warga kampung
semua datang melihat benda-benda berharga yang merupakan belis Sabu Peni yang
diberikan oleh suaminya Dewa Air Letobehe.
Tatkala pembukaan areal ladang tahun itu, Bolok Jawa memilih lokasi dekat
sumber air Letobehe. Hujan tahun itu sangat banyak, hasil padi dan jagung bakal
melimpah. Dikala musim jagung muda tiba, babi landak masuk ke ladang nya dan
memakan jagung. Hatinya sangat sedih. Bermalam-lamanya dia tidak dapat
tertidur lelap, sedangkan pagi harinya didapatinya di sudut lain jagung di
rusak landak. Bolok Jawa memutuskan untuk memasang jerat landak. Soreh bannya
dipasangnya jerat landak. Keesokan paginya seekor landak jantan dan tambun
berhasil ditangkapnya. Hatinya sangat legah. Keesokan paginya dari jerat yang
lain seekor landak betina terjerat. Hatinya sangat puas, dipanggangnya daging
landak itu disantapnya dengan sepuasnya.
Dua hari kemudian, menjelang magrib, terdengar olehnya suara sang bayi
menangis dibuai sang ibunda. Sang bayi terus saja menangis, suara sang ibu
terus membujuk dan membuainya. Sang ibu berkata : "Wahai saudaraku
tercinta Bolok Jawa. Begitu tega engkau menangkap binatang piaraanku tanpa
seijin kami ? Kalau kau menghendakinya sampaikan sebelumnya, ataukah datanglah
ke rumahku. Jangan kau mengambilnya tanpa sepengetahuan kami". Suara itu
sungguh-sungguh suara Sabu Peni, Bolok Jawa lari menuju sumber air. Suara kedengaran
jelas datangnya dari arah batu besar dekat sumber air. Setelah berhenti sejenak,
Bolok memanggil. "Sabu, saudariku aku sudah disini. Bagaimana dapat aku
bertemu dengan kalian ?" Sabu menjawab: "Bersabarlah sebentar,
suamiku sedang bersiap pergi memancing di laut" Kemudian kedengaran suara
Sabu Peni mengatakan : "pejamkan matamu". Bolok menuruti saja apa
yang dikatakan "adiknya. Dan tatkala dia membuka matanya ternyata Dia sudah
berada di pekarangan sebuah rumah mewah, dilihatnya Sabu berpakaian gemerlapan
sambil menggendong bayi yang baru berusia 1 bulan. Bolok dipersilakan masuk,
segera dia menggendong keponakannya yang sangat tampan. Keduanya bercerita tentang
kehidupan masing-masing. Sabu menceritakan semua hal ihwal hubungan
antara manusia biasa dengan roh halus seperti dirinya kini. Sabu mengatakan -
bahwa landak yang ditangkapnya adalah merupakan ayam peliharaan manusia. Untuk
memperolehnya harus menyampaikan ijin terlebih dahulu. Kesempatan yang baik itu
digunakan mereka untuk berembuk. Sabu Peni menunjukkan segala harta milik
suaminya, ternyata suami Sabu Peni seorang pemimpin di desanya. Semua warga
sangat segan dan patuh padanya. Sabu Peni berkata : "Jikalau suamiku
kembali dan mengetahui bahwa engkau berada disini pasti dia akan
menjamu-engkau. Apabila disuruhnya engkau menyantap hidangan janganlah engkau
mau sebelum cincin di jari manis tangan kanannya diserahkan kepadamu. Semua
harta yang kini berada di rumahku tidak akan kekal, tetapi cincin itu akan kau
miliki secara turun temurun, simpanlah bersama gading, uang perak dan rantai
mas, sebagai kenangan kita berdua, agar turun temurun kita selalu mengenang
akan kisah kepahlawanan kita".
Sekitar jam 10.00 siang suaminya kembali. Sabu Peni
segera menemuinya dan menyampaikan berita kunjungan kakaknya. Dewa Air sangat
bergembira mendapat kunjungan iparnya. Setelah mandi dan mengenakan pakaian.
Dewa Air datang menemui Bolok Jawa. Kemudian disuruhnya pembantu rumahnya
menyembunyikan gong, tak lama kemudian berduyun-duyunlah warga desanya datang.
Bolok dapat melihat mereka dari yang cantik-cantik sampai yang jelek dan
menyeramkan berkumpul. Iparnya memberitahukan tentang kunjungan tamu agung ke
rumahnya, untuk itu agar seluruh warga dapat hadir resepsi keluarga di
rumahnya. Setelah mereka pergi Dewa Air beserta Sabu Peni dan Bolok Jawa
bercerita tentang kehidupan alam gaib dan alam fana.
Malam hari tiba sekalian warga berkumpul, tarian-tarian dipertunjukan,
semua peserta pesta gembira ria. Namun tatkala saat santapan bersama tiba. Dewa
Air mempersilakan Iparnya makan, Bolok menolak. Dewa Air sangat sedih hatinya.
Suasana agak berubah. Dewa air membujuk namun Bolok Jawa tetap menolak. Dewa
air membisikkan kata-kata bahwa jangan mempermalukannya di muka umum, namun
Bolok tetap menolak. Akhirnya Dewa air memohon agar Bolok Jawa memohon apa yang
ingin diperolehnya. Bolok Jawa meminta cincin permata di jari manis Dewa air.
Dewa air membukanya lalu mengenakannya di jari manis Bolok Jawa. Mereka kemudian
bersantap bersama. Tarian-tarian dan hiburan terus berlangsung sampai pagi. Setelah
tamu kembali, menjelang magrib""Sabu Peni dan suaminya mengantarkan
Bolok Jawa di depan pintu masuk pekarangan rumah mereka. Setelah berpamitan
.mereka berpisah untuk selama-lamanya. Dewa air menyuruh Bolok Jawa memejamkan
matanya dan setelah dibukanya dirinya telah berada di sumber air Letobehe.
Bolok Jawa kembali ke dunia nyata, cincin yang dibawanya kemudian disimpannya
bersama gading rantai mas dan uang perak di rumahnya.
Sampai kini di rumah adat Marga
Leyn di desa Lewokluo Kecamatan Larantuka Propinsi Nusa Tenggara Timur masih
tersimpan dan terawat baik benda-benda pusaka Bolok Jawa Leyn oleh
keturunannya. Aneh bin ajaib anda dapat melihat sendiri sebatang gading besar
yang tidak berongga cuma rongga kecil sepanjang 12 cm, rantai mas dan uang perak
serta cincin wasiat yang tetap menjadi kebanggaan tersendiri dan kenangan
kejayaan leluhur mereka di masa silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar