Jumat, 07 Desember 2012

Kisah Air Bama


Sumber air Bama yang terletak 23 km arah barat Kota Larantuka ibu kota Kabupaten Flores Timur yang memberikan kehidupan bagi penduduk kota dan daerah sekitarnya mempunyai cerita yang menarik.
Pada zaman dahulu di desa Onge kampung lama desa Lewokluo sekarang tinggallah 2 orang bersaudara, yang pria bernama Bolok Jawa dan wanita ber­nama Sabu Peni. Mereka berasal dari marga Leyn. Orang tua mereka telah me­ninggal dunia dikala keduanya menanjak dewasa. Keduanya hidup rukun dan da­mai. Bolok Jawa berladang dan menyadap lontar, Sabu Peni menenun dan me­ngurus rumah tangga.

Air minum merupakan masalah utama bagi warga desa Onge, maupun desa-desa disekitarnya. Hal ini sangat dirasakan apabila musim kemarau tiba. Penduduk mengeluh kekurangan air tidak jarang manusia meninggal karena ke hausan. Apabila musim kemarau tiba, kaum wanita desa beramai-ramai memasuki hutan menyadap embun yang tergenang di daun pepohonan, di sekitar desa­nya. Pekerjaan yang berat dan membosankan ini selaju dikerjakan dengan penuh ketabahan oleh mereka selama enam bulan lamanya. Menjelang subuh dipagi buta mereka memasuki hutan membawa perlengkapan menyadap embun untuk dapat memasak makanan dan cukup minum selama sehari. Sabu Peni mengerjakan pekerjaan rutin ini dengan tekun, namun dalam hati kecilnya menyimpan harapan besar untuk dapat menemukan sebuah sumber air bagi desanya serta kaum keluarganya.
                Pada suatu hari yang cerah, Sabu Peni masuk hutan menyadap embun. Seekor anjing piaraan Bolok Jawa mengikutinya. Sabu Peni sibuk mengerjakan pekerjaannya, sang anjing menghilang. Namun dikala dia hendak kembali sang anjing muncul dan menemaninya kembali ke rumah. Sabu Peni sangat tertegun melihat moncong anjing berlumpur. Sabu memanggil sang anjing dan mengamati nya dengan teliti, apa penglihatannya itu benar. Setelah diamatinya secara seksama diketahuinya ada lumpur yang melekat di jari jemari sang anjing. Hatinya sangat legal. Sabu Peni bergegas kembali ke rumah bersama sang anjing. Malam harinya dia membuat rencana untuk membawa sang anjing keesokan harinya. Pagi hari kedua, Sabu Peni bergegas bangun. Dipanggilnya anjing itu, keduanya memasuki hutan. Sang anjing menghilang lagi dan tatkala hendak kem­bali sang anjing datang. Kali ini lumpur semakin banyak melekat di tubuh sang anjing, maka Sabu Peni telah yakin bahwa sang anjing telah menemukan sebuah sumber air. Pada malam harinya, dia menganyam sebuah bakul sedang, diisinya abu dapur sampai penuh, pada bagian bawah diberinya lubang tempat abu dapur tercecer, disimpannya bakul itu dan diapun bergegas tidur. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak. Dia telah membayangkan bahwa betapa bahagianya warga desanya seandainya rencananya ini akan berhasil. Terlebih kaum wanita­nya dapat mengakhiri pekerjaan rutin dan berat itu.
Pagi hari ketiga, Sabu Peni bangun sebagaimana biasanya dia memang­gil anjingnya dibawanya perlengkapannya serta bakul yang berisi abu dapur. Setibanya di tempat dimana dia menyadap embun, dia memanggil anjing, diikat­nya bakul di leher anjing dan iapun bekerja sebagaimana biasanya. Sang anjing menghilang dan tatkala dia hendak kembali anjing datang. Segera dia memanggil anjing itu dan iapun memeriksa bakul tersebut, diketahuinya bakul tersebut su­dah kosong. Sabu Peni bergegas berjalan menyusuri ceceran abu dapur ditema­ni anjing piaraannya. Perjalanan amat jauh dan melelahkan, melewati hutan le­bat mendaki bukit menuruni lembah tidak memikirkan bahaya yang dapat menimpa akibat pagutan ular yang berbisa. Dia terus berjalan tak kenal lelah. Anjing berjalan mendahuluinya seringkali menggonggong binatang hutan yang dilihatnya. Dan tatkala menjelang tengah hari pukul 12.00 siang, tibalah Sabu Peni di mata air Bama sekarang bernama Letobehe. Anjingnya berlari sambil berhenti dan mencakar kaki pada dedaunan lusuh seakan memberikan petunjuk kepada Sabu Peni untuk datang menuju ke tempat itu. Didapatinya lumpur basah, lalu dibersihkannya tempat itu dan sekitarnya dengan tangannya dikorek­nya lumpur, air semakin jernih memenuhi lubang kecil itu. Hatinya sangat lega. Sabu menggali lubang semakin besar, air segera memenuhi lubang tersebut lalu ia menimba dan meneguknya sampai puas. Diapun menimba mengisi tempa­yannya sampai penuh lalu iapun mandi sepuas-puasnya. Pakaiannya basah kuyup dicucinya rambutnya yang hitam dan dibiarkannya terurai, kemudian menjun­jung tempayannya dan kembali ke kampung ditemani sang anjing. Bolok Jawa yang bingung dan cemas menunggu kedatangan Sabu Peni sangat senang me­nyambut kedatangan adiknya menjunjung air, ternyata Sabu Peni telah berhasil menemukan sumber air Letobehe. Berita segera tersebar, Bolok Jawa mengum­pulkan beberapa rekan prianya dan pergi menuju Letobehe. Mereka menemu­kan sumber air seperti yang diceritakan Sabu Peni. Penduduk desa Onge bergembira ria, sejak saat itu Sabu Peni disanjung-sanjung dan disayangi segenap warga desa.
Setelah sebulan lamanya pada suatu malam Sabu Peni bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu dengan seorang pria tanpan dan rupawan. Sang pemuda menceritakan padanya bahwa dialah pemilik sumber air Letobehe. Sang pemuda telah jatuh cinta kepadanya sejak pertemuan pertamanya di Letobehe. Sang Dewa air (nitung = lamaholot) itulah yang memberikan air itu karena cintanya kepada gadis Sabu Peni. Dan dia berjanji apabila Sabu Peni menerima cintanya, dan menikah dengannya dia akan menjadikan sumber air itu menjadi deras alir­annya kelaut dan tidak pernah berkurang airnya sepanjang masa.
Pagi harinya Sabu Peni menceritakan mimpinya kepada Bolok Jawa, namun anehnya Bolok Jawapun bermimpi sama seperti mimpi Sabu Peni. Ke­duanya berembuk bersama. Sabu Peni ditanyai oleh Bolok Jawa akan kesediaan­nya, dan ternyata dengan senang hati Sabu Peni mengiakannya.
Sabu Peni mengatakan kepada kakaknya bahwa dia telah berniat untuk dikorbankan demi memperoleh air minum sejak lama tatkala melihat anak anak dan orang tua-orang tua yang mati kehausan dimasa yang telah lalu.
Bolok Jawapun merelakannya karena mereka yakin bahwa seorang anak manusia akan segera meninggalkan dunia fana apabila dewa (nitung) telah jatuh cinta kepadanya. Namun peristiwa ini amat langkah apakah mungkin akan ter­jadi ? Bolok kebingungan memikirkannya.
Malam hari tiba impian selalu datang, Sabu Peni selalu bertemu dengan sang dewa air, dia menunjukkan kehidupannya dikemudian hari setelah menikah dengannya. Kemewahan hidup di alam sana di suatu dunia baru yang penuh kebahagiaan mendorong Sabu Peni untuk mengorbankan dirinya untuk segera menemui dunianya yang baru.
Bolok Jawa merasa sangat tersiksa mengenang hari-hari hidupnya dimasa depan tanpa keponakan yang lahir dari rahim saudara sekandungnya. Namun Sabu Peni menghiburnya dengan berkata bahwa Bolok harus segera menikah, anak-anak perempuan dan laki-laki akan lahir hidup sehat dan sejahtera berkat sumber air yang akan diperoleh lewat pengorbanan dirinya. Bolok akan dikaru­niakan panjang umur dan bahagia di hari tuanya bersama isterinya. Sabu Peni memilih calon tunangan kakaknya seorang gadis rajin pandai menenun anak paman saudara laki-laki ibunda mereka tercinta. Akhirnya Bolok Jawa pasrah.
Sabu Peni menyuruh Bolok Jawa mendirikan balai-balai di sumber air Le-tobehe. Bolok Jawa mengikuti petunjuk adiknya dan berbuat seperti apa yang disampaikan Sabu Peni. Sabu menyuruhnya untuk mengundang seluruh warga desa dan kaum keluarganya, Sabu Peni mengenakan pakaian pengantinnya se­bagaimana biasanya, dan dihantarkan ke sumber air, lalu didudukannya di balai balai yang didirikan Bolok Jawa. Semua penyampaian Sabu Peni dituruti Bolok Jawa.
Pada hari yang telah ditetapkan tiba semua keluarga berkumpul. Pesta sangat meriah pada malam harinya, keesokan paginya Sabu Peni berdandan dan rombonganpun bergerak dari Onge menuju Letobehe. Setibanya mereka disitu semuanya beristirahat. Kemudian satu persatu mereka memeluk dan menciumi­nya untuk terakhir-kalinya. Kaum wanita menangis meratapinya namun Sabu Peni tabah dan tidak meneteskan air mata Yang terakhir giliran Bolok Jawa menciumnya, keduanya berpelukan cukup lama. Semua yang melihat turut me­nangis, melihat perpisahan kedua anak yatim piatu yang begitu mengharukan hati. Sabu Peni berbisik, ke telinga Bolok Jawa : "Apabila air telah naik menu­tupi wajahku, sanggulku akan terlepas. Rambutku akan bertebaran di permukaan air, maka akan terdengar letusan dasyat. Sekalian pengiring akan lari meninggal­kan tempat ini, tetapi engkau janganlah takut, berdirilah di tepian kali ini dan apa saja yang kau lihat dibawa air kearahmu, pungutlah dan bawalah pulang ke rumahmu". Keduanya berhenti menangis. Jam telah menunjukan pukul 12.00 siang hari. Sabu Peni meluruskan kakinya keselatan, dan dengan tenang dinan­tikan saat-saat akhir hidupnya. Air mulai meluap naik, perlahan-lahan akhirnya menutupi wajahnya. Sanggulnya terlepas dan rambutnya bertebaran di atas permukaan air, maka terjadilah letusan yang sangat dasyat. Semua pengiring lari ketakutan, tinggalah Bolok Jawa sendirian di tepian sambil menanti apa yang disampaikan adiknya. Tak lama kemudian air menghanyutkan sebatang kayu kering, seutas tali hutan dan beberapa daun pohon kering kearahnya. Bolok memungutnya dan membawanya kembai ke rumahnya, sambil menangis. Setiba­nya di rumah diletakkannya di pondok kecil tempat menyadap lontar, namun keesokan paginya benda tak berharga itu telah berubah wujud menjadi sebatang gading besar dan panjang, seutas rantai mas, dan kepingan uang perak. Bolok Jawa mengambil benda berharga ini disimpannya di rumahnya. Hal itu segera tersiar ke segenap warga kampung semua datang melihat benda-benda berharga yang merupakan belis Sabu Peni yang diberikan oleh suaminya Dewa Air Leto­behe.
Tatkala pembukaan areal ladang tahun itu, Bolok Jawa memilih lokasi dekat sumber air Letobehe. Hujan tahun itu sangat banyak, hasil padi dan jagung bakal melimpah. Dikala musim jagung muda tiba, babi landak masuk ke ladang nya dan memakan jagung. Hatinya sangat sedih. Bermalam-lamanya dia tidak da­pat tertidur lelap, sedangkan pagi harinya didapatinya di sudut lain jagung di rusak landak. Bolok Jawa memutuskan untuk memasang jerat landak. Soreh bannya dipasangnya jerat landak. Keesokan paginya seekor landak jantan dan tambun berhasil ditangkapnya. Hatinya sangat legah. Keesokan paginya dari jerat yang lain seekor landak betina terjerat. Hatinya sangat puas, dipanggangnya daging landak itu disantapnya dengan sepuasnya.
Dua hari kemudian, menjelang magrib, terdengar olehnya suara sang bayi menangis dibuai sang ibunda. Sang bayi terus saja menangis, suara sang ibu terus membujuk dan membuainya. Sang ibu berkata : "Wahai saudaraku tercinta Bo­lok Jawa. Begitu tega engkau menangkap binatang piaraanku tanpa seijin kami ? Kalau kau menghendakinya sampaikan sebelumnya, ataukah datanglah ke ru­mahku. Jangan kau mengambilnya tanpa sepengetahuan kami". Suara itu sungguh-sungguh suara Sabu Peni, Bolok Jawa lari menuju sumber air. Suara kede­ngaran jelas datangnya dari arah batu besar dekat sumber air. Setelah berhenti sejenak, Bolok memanggil. "Sabu, saudariku aku sudah disini. Bagaimana dapat aku bertemu dengan kalian ?" Sabu menjawab: "Bersabarlah sebentar, suamiku sedang bersiap pergi memancing di laut" Kemudian kedengaran suara Sabu Peni mengatakan : "pejamkan matamu". Bolok menuruti saja apa yang dikatakan "adiknya. Dan tatkala dia membuka matanya ternyata Dia sudah berada di peka­rangan sebuah rumah mewah, dilihatnya Sabu berpakaian gemerlapan sambil menggendong bayi yang baru berusia 1 bulan. Bolok dipersilakan masuk, segera dia menggendong keponakannya yang sangat tampan. Keduanya bercerita ten­tang kehidupan masing-masing. Sabu menceritakan semua hal ihwal hubungan antara manusia biasa dengan roh halus seperti dirinya kini. Sabu mengatakan - bahwa landak yang ditangkapnya adalah merupakan ayam peliharaan manusia. Untuk memperolehnya harus menyampaikan ijin terlebih dahulu. Kesempatan yang baik itu digunakan mereka untuk berembuk. Sabu Peni menunjukkan se­gala harta milik suaminya, ternyata suami Sabu Peni seorang pemimpin di de­sanya. Semua warga sangat segan dan patuh padanya. Sabu Peni berkata : "Jikalau suamiku kembali dan mengetahui bahwa engkau berada disini pasti dia akan menjamu-engkau. Apabila disuruhnya engkau menyantap hidangan ja­nganlah engkau mau sebelum cincin di jari manis tangan kanannya diserahkan kepadamu. Semua harta yang kini berada di rumahku tidak akan kekal, tetapi cincin itu akan kau miliki secara turun temurun, simpanlah bersama gading, uang perak dan rantai mas, sebagai kenangan kita berdua, agar turun temurun kita selalu mengenang akan kisah kepahlawanan kita".
Sekitar jam 10.00 siang suaminya kembali. Sabu Peni segera menemui­nya dan menyampaikan berita kunjungan kakaknya. Dewa Air sangat bergem­bira mendapat kunjungan iparnya. Setelah mandi dan mengenakan pakaian. Dewa Air datang menemui Bolok Jawa. Kemudian disuruhnya pembantu rumah­nya menyembunyikan gong, tak lama kemudian berduyun-duyunlah warga desanya datang. Bolok dapat melihat mereka dari yang cantik-cantik sampai yang jelek dan menyeramkan berkumpul. Iparnya memberitahukan tentang kun­jungan tamu agung ke rumahnya, untuk itu agar seluruh warga dapat hadir resepsi keluarga di rumahnya. Setelah mereka pergi Dewa Air beserta Sabu Peni dan Bolok Jawa bercerita tentang kehidupan alam gaib dan alam fana.
Malam hari tiba sekalian warga berkumpul, tarian-tarian dipertunjukan, semua peserta pesta gembira ria. Namun tatkala saat santapan bersama tiba. Dewa Air mempersilakan Iparnya makan, Bolok menolak. Dewa Air sangat sedih hatinya. Suasana agak berubah. Dewa air membujuk namun Bolok Jawa tetap menolak. Dewa air membisikkan kata-kata bahwa jangan mempermalukannya di muka umum, namun Bolok tetap menolak. Akhirnya Dewa air memohon agar Bolok Jawa memohon apa yang ingin diperolehnya. Bolok Jawa meminta cincin permata di jari manis Dewa air. Dewa air membukanya lalu mengenakan­nya di jari manis Bolok Jawa. Mereka kemudian bersantap bersama. Tarian-tarian dan hiburan terus berlangsung sampai pagi. Setelah tamu kembali, menjelang magrib""Sabu Peni dan suaminya mengantarkan Bolok Jawa di depan pintu masuk pekarangan rumah mereka. Setelah berpamitan .mereka berpisah untuk selama-lamanya. Dewa air menyuruh Bolok Jawa memejamkan matanya dan setelah dibukanya dirinya telah berada di sumber air Letobehe. Bolok Jawa kem­bali ke dunia nyata, cincin yang dibawanya kemudian disimpannya bersama gading rantai mas dan uang perak di rumahnya.
Sampai kini di rumah adat Marga Leyn di desa Lewokluo Kecamatan Larantuka Propinsi Nusa Tenggara Timur masih tersimpan dan terawat baik benda-benda pusaka Bolok Jawa Leyn oleh keturunannya. Aneh bin ajaib anda dapat melihat sendiri sebatang gading besar yang tidak berongga cuma rongga kecil sepanjang 12 cm, rantai mas dan uang perak serta cincin wasiat yang te­tap menjadi kebanggaan tersendiri dan kenangan kejayaan leluhur mereka di masa silam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar